Minggu, 23 September 2012

Refleksi Perkuliahan III Filsafat Ilmu

Refleksi Perkuliahan III Filsafat Ilmu
“MIMPI”
(Senin, 17 September 2012)

Berbicara tentang hakikat mimpi menurut filsafat, seribu satu macam mimpi telah kita temui.  Dalam filsafat, jika kita bisa menggunakan metode ilmiah (bahkan di laboratorium) untuk membuktikan pemikiran kita, maka gunakanlah.  Akan tetapi jika tidak bisa, maka gunakanlah hipotetical analisis.  Jika orang yang yang menguji kebenaran tersebut berpengalaman, maka dinamakan refleksi tetapi jika sebaliknya, maka dinamakan “ngawur”.  Jika kemudian hal tersebut tidak dapat dibuktikan, maka serahkanlah semuanya kepada Allah SWT dan yakinlah bahwa itu adalah kodrat yang dimilki oleh hal tersebut.  Contohnya adalah mimpi itu sendiri.  Dunia metode dan pendekatan adalah epistemologi.  Kinetik epistemologi, mempelajari mimpi melalui cara kerja otak.  Tidak pernah ada yang menjamin kebenaran mimpi hanya dengan menggunakan hipotetical saja.  Ada hal yang menarik tentang mimpi, ketika seorang rasul atau nabi bermimpi biasanya mimpi tersebut adalah ilham dari Allah SWT.  Ilham adalah sesuatu yang jelas datangnya secara tiba-tiba.  Banyak hal yang dapat kita simpulkan dari mimpi, tetapi bagi orang-orang seperti kita, mimpi adalah hanya sekedar bunga tidur dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Arti Mimpi
Mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat (rapid eye movement/REM sleep).  Kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan di luar kuasa pemimpi.  Pengecualiannya adalah dalam mimpi yang disebut lucid dreaming.  Dalam mimpi demikian, pemimpi menyadari bahwa dia sedang bermimpi saat mimpi tersebut masih berlangsung, dan kadang-kadang mampu mengubah lingkungan dalam mimpinya serta mengendalikan beberapa aspek dalam mimpi tersebut.  Pemimpi juga dapat merasakan emosi ketika bermimpi, misalnya emosi takut dalam mimpi buruk.  Ilmu yang mempelajari mimpi disebut oneirologi.
Sigmund Freud sejak lama melihat pentingnya mimpi, yakni sebagai jalan untuk masuk ke alam bawah sadar kita.  Dari mimpi-mimpi itulah berbagai keinginan, ketakutan, hingga perasaan yang tak mau diakui bisa dianalisis.  Sementara itu, teori lain menyebutkan bahwa mimpi adalah bunga tidur alias bagian dari siklus tidur.  Mimpi sering kali terjadi pada fase tidur rapid eye movement (REM).  Pada fase tidur ini, beberapa fungsi otak akan beristirahat, sementara area lain tetap aktif.  Para ahli pendukung teori ini menyatakan, mimpi berfungsi mengisi kembali senyawa kimia otak, seperti neurotransmitter.
Deirdre Barret, psikolog dari Harvard University, baru-baru ini menyampaikan teorinya tentang makna mimpi dalam kehidupan manusia.  Menurutnya, tujuan utama dari mimpi adalah pencarian solusi atas masalah-masalah yang mengganggu saat manusia terjaga.  “Mimpi memiliki tingkat visual yang tinggi, bahkan logis sehingga bisa dikategorikan sebagai sebuah pemikiran yang ‘out of the box‘ yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah,” urainya dalam diskusi di ajang Association for Psychological Science.  Menurutnya, mimpi adalah sebuah bentuk kegiatan berpikir, tetapi berbeda dengan saat mata kita terbuka.  “Apa pun situasinya, baik itu saat sadar maupun tidur, kita masih bekerja dalam masalah yang sama.  Mimpi membantu otak kita menemukan solusi”.  Ia juga mengaitkan mimpi dengan teori evolusi.  Menurutnya, segala hal yang bertahan begitu lama dalam sejarah evolusi, seperti tidur REM, pasti memiliki fungsi penting.  Fase tidur REM sendiri telah ada sejak jutaan tahun lalu, yakni sejak evolusi mamalia 220 juta tahun silam.  Mimpi dan tidur REM merupakan waktu tambahan untuk berpikir sehingga manusia bisa memecahkan masalahnya.

References


Senin, 17 September 2012

Refleksi Perkuliahan II Filsafat Ilmu

Refleksi Perkuliahan II Filsafat Ilmu
(Senin, 10 September 2012)

Filsafat itu tergantung dari obyek (apa yang dipikirkan) dan metodenya (bagaimana memikirkannya).  Dari sisi filsafat, segala sesuatu obyek itu berdimensi.  “Lupa” dari sisi filsafat , tergantung dimensinya.  Lupa secara filsafat tidak lain tidak bukan adalah abstraksi, adalah reduksi, adalah pilihan di bawah sadar dimana anda memilih keadaan tidak sadar, tidak memperhatikannya, tidak memikirkannya.  Lupa adalah sebagian besar dari diri kita karena apa yang kita pikirkan hanyalah sebagian kecil saja.  Orang yang tidak lupa adalah diriku yang sedang memikirkannya, sedangkan orang yang lupa adalah dirimu yang tidak sedang memikirkannya, maka hidup ini 90% lebih adalah lupa.
Salah dan benar juga tergantung dimensinya, tergantung dari konteks ruang dan waktu.  Dalam filsafat itu, benar juga berdimensi, bertingkat-tingkat, bermacam-macam benar itu.  Ada benar dalam pikiran, benar dalam penglihatan, akan tetapi apa yang anda lihat dan pikirkan itu belum tentu benar.  Jawaban yang berlaku umum dan universal itu ada satu dan bersifat mono yang disebut monotheisme (mengaku Tuhan yang satu).  Jawaban umum yang berlaku umum itu adalah kebenaran spiritual/kebenaran monotheisme.  Jadi, benar absolut adalah benar secara spiritual.  Sedangkan selama masih dalam pikiran manusia, maka kebenaran itu bersifat relatif.  Untuk menggapai spiritual tidak hanya dipikirkan saja tetapi juga dilaksanakan.
Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M..  Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada (agama) lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Filsafat Yunani Kuno juga menjadi acuan karena ada dokumentasinya dan secara substansi, bangsa Yunani Kuno adalah bangsa yang pertama kali merubah mitos menjadi logos.  Mitos itu adalah musuh besar filsafat, sedangkan logos adalah filsafat itu sendiri.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki.  Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles.  Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato.
Untuk lebih memahami filsafat, maka BACA, BACA, DAN BACA, BACA LAGI, DAN BACA LAGI sebanyak mungkin.


Senin, 10 September 2012

Refleksi Perkuliahan I Filsafat Ilmu

Refleksi Perkuliahan I Filsafat Ilmu
(Senin, 3 September 2012)

Dalam mempelajari filsafat seringkali menyinggung ranah spiritual.  Oleh karena itu, sebelum berfilsafat hendaknya kita memantapkan hati terlebih dahulu bahwa 1 langkah berfilsafat maka 10 langkah berspiritual, 10 langkah berfilsafat maka 100 langkah berspiritual, dan seterusnya.  Tidak mungkin mengetahui ranah spiritual hanya menggunakan logika saja karena keyakinan itu aspek di dalam hati kita dan bersifat absolut, sedangkan pikiran apalah daya dan upaya untuk memikirkannya.
Apa itu filsafat?  Filsafat bisa didefinisikan sebagai apapun, tetapi yang penting adalah bagaimana penjelasannya.  Definisi filsafat itu diperoleh dari setengah pengalaman dan setengahnya lagi logika.  Filsafat adalah pola pikir yaitu tidak sekedar berpikir tetapi berpikir yang reflektif (merefleksikan) yang mempunyai sifat intensif (sedalam-dalamnya) dan ekstensif (seluas-luasnya).
Alat untuk berfilsafat adalah menggunakan bahasa analogi, yaitu bahasa yang lebih dari sekedar kiasan.  Filsafat itu mengupas tuntas secara mendasar (radik) dan dalam berfilsafat dimulai dari hal yang sepele atau kecil.  Obyek filsafat adalah segala yang ada dan mungkin ada.  Sesuatu untuk menentukan subyek dan obyek adalah kuasa.  Adapun metode berfilsafat yaitu terjemah dan menterjemahkan yang disebut hermeneutika.
Untuk lebih memahami filsafat, maka BACA, BACA, DAN BACA, BACA LAGI, DAN BACA LAGI sebanyak mungkin.