Edisi Khusus
Berpikir
dengan Logika
Dalam berpikir
untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah, tentu tidak terlepas dari alat atau
sarana ilmiah. Sarana ilmiah dimaksud meliputi beberapa hal yaitu bahasa, matematika,
statistika, dan logika. Hal ini
mempunyai peranan sangat mendasar bagi manusia dalam proses berpikir dan
mengkomunikasikan maupun mendokumentasikan jalan pikiran manusia. Logika merupakan sarana berpikir sistematis,
valid, cepat, dan tepat serta dapat dipertanggungjawabkan. Dalam berpikir logis dibutuhkan kondisi-kondisi
tertentu seperti: mencintai kebenaran, mengetahui apa yang sedang dikerjakan
dan apa yang sedang dikatakan, membuat perbedaan dan pembagian, mencintai definisi
yang tepat, dan mengetahui mengapa begitu kesimpulan kita serta menghindari
kesalahan-kesalahan.
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan
akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dalam
bahasa Arab disebut Mantiq. Logika
adalah salah satu cabang filsafat. Logika adalah sebuah cabang filsafat
yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Logika adalah sarana untuk berpikir
sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir
sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar
daripada satu. Logis dalam bahasa
sehari-hari kita sebut masuk akal. Logika
digunakan untuk melakukan
pembuktian. Logika mengatakan bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara
tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika.
Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari
kebenaran. Logika berfungsi untuk:
- Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
- Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
- Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
- Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis
- Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpikir, kekeliruan, serta kesesatan.
- Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
- Terhindar dari klenik, gugon-tuhon (bahasa Jawa).
- Apabila sudah mampu berpikir rasional, kritis, lurus, metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang.
Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep
itu menyatakan bahwa kesahihan
(validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam
hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara
kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika
silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah
contoh-contoh dari logika formal. Dasar penalaran dalam logika ada dua,
yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif yang biasa disebut logika
deduktif adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif
jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari
premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau
tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif
dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis
dari premis-premisnya. Penalaran induktif “kadang disebut logika induktif” adalah penalaran yang berangkat
dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan
pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah
pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya. Logika
dimulai sejak Thales
(624-548 SM), filsuf Yunani pertama yang
meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan
berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales
mengatakan bahwa air adalah arkhe
(Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat
itu Thales telah mengenalkan logika
induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica
scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales
menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan
bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air
adalah arkhe alam semesta, yang
menurut Aristoteles disimpulkan dari:
- Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
- Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
- Air jugalah uap
- Air jugalah es
Jadi, air
adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam
semesta.
Sejak saat Thales sang filsuf
mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum
Sofis beserta Plato (427-347 SM)
juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Pada
masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat
dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus
meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan
kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Aristoteles
meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya disebut to
Oraganon (alat), yang terdiri
dari:
- Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
- De interpretatione tentang keputusan-keputusan
- Analytica Posteriora tentang pembuktian.
- Analytica Priora tentang Silogisme.
- Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.
- De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.
Theoprastus (370-288 SM), murid Aristoteles yang
menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangan logika. Istilah logika untuk pertama
kalinya dikenalkan oleh Zeno dari
Citium (334-226 SM) pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi
logika terjadi pada masa Galenus (130-201
M) dan Sextus Empiricus (sekitar
200 M), dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan
menerapkan metode geometri. Porohyus (232-305 M) membuat suatu pengantar (eisagoge)
pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles. Boethius
(480-524 M) menerjemahkan Eisagoge
Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar-komentarnya. Johanes
Damascenus (674-749 M) menerbitkan Fons
Scienteae.
Pada abad 9 hingga abad 15,
buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh
Porphyus dan karya Boethius masih digunakan. Thomas Aquinas (1224-1274) dan kawan-kawannya berusaha mengadakan
sistematisasi logika sehingga
lahirlah logika modern. Raymundus Lullus (1232-1315) yang menemukan metode logika
baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian. Pengembangan
dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) dengan karyanya Leviatan
dan John Locke (1632-1704)
dalam An Essay Concerning Human Understanding. Francis
Bacon (1561-1626)
mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum
Scientiarum. J.S. Mills (1806-1873) melanjutkan logika yang
menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic. Lalu
logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik. Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716)
menyusun logika aljabar berdasarkan Ars
Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan
pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian. Puncak
kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid
yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861-1914) dan Bertrand Arthur William
Russel (1872-1970). Logika
simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein, Rudolf Carnap, Kurt Godel,
dan lain-lain.
Referensi